Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Perpajakan
Sumber Didapat Dari:
1.
MUTIARA CLARASATI (5130211273)
2.
RINA RISTIANI (5130211121)
MANAJEMEN
UNGGULAN
PRODI S1 MANAJEMEN
FAKULTAS BISNIS DAN
TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS TEKNOLOGI
YOGYAKARTA
2015
Kata Pengantar
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah
serta karunia-Nya kepada kami,sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini
dalam rangka memenuhi tugas matakuliah Perpajakan tepat pada waktunya dengan
judul “Pajak BPHTB dan Pajak Perhotelan”.
Makalah ini berisikan tentang pajak BPHTB,
dan pajak perhotelan. Dengan tujuan, agar makalah ini dapat memberikan
informasi kepada kita semua tentang pajak BPHTB dan pajak perhotelan.
Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami
sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.
Yogyakarta, 7 Maret 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
i.
Kata
pengantar . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
ii.
Daftar
isi . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
BAB
I Pendahuluan
I.
Latar
Belakang. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . 3
II.
Rumusan
Masalah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. 3
III.
Tujuan
dan Manfaat. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. 3
BAB II PEMBAHASAN
I.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) . . . . . 4
II. Pajak Hotel. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . 19
BAB
III PENUTUP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . 23
BAB
IV DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. 24
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
UU No. 20 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan sebagai dasar hokum dari BPHTB.
Pajak
hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. Undang undang nomor 28 tahun 2009 yang
merupakan perubahan atas undang undang nomor 34 tahun 2000 tentang pajak daerah
dan retribusi daerah sebagai dasar hukum pajak hotel.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas terdapat beberapa
masalah diantaranya adalah:
1)
Apa
yang di maksud BPHTB?
2)
Siapakah
subjek dan objek BPHTB?
3)
Bagaimana
cara penghitungan BPHTB?
4)
Apakah
yang dimaksud dengan pajak hotel?
5)
Siapakah
subjek pajak hotel dan apa saja yang termasuk dalam objek pajak hotel?
6)
Bagaimana
cara penghitungan pajak hotel?
C.
TUJUAN
DAN MANFAAT
1)
Untuk
mengetahui apa itu BPHTB.
2)
Untuk
mengetahui subjek dan objek dari BPHTB.
3)
Untuk
mengetahui cara penghitungan BPHTB.
4)
Untuk
mengetahui pengertian dari pajak hotel
5)
Untuk
mengetahui subjek dan objek pajak hotel
6)
Untuk
mengetahui cara penghitungan pajak hotel melalui contoh kasus penghitungan
pajak hotel.
BAB 2
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
dan Dasar Hukum BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
atau Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan. Dasar hukum BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 21 tahun
1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Kemudian
pajak ini masuk dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 85 sampai dengan
Pasal 93. Peraturan terkait lainnya antara lain:
- Peraturan
Pemerintah Nomor 111 s.d. 114 tahun 2000,
- Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006,
- Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penentuan
Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan sebagaimana terakhir diubah dengan PMK Nomor
14/PMK.03/2009.
A. Subjek BPHTB,
Subjek
pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan dengan kata lain adalah pihak yang menerima pengalihan hak baik itu badan
mapupun orang pribadi. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi wajib pajak.
B. Objek BPHTB
Objek
pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan yaitu terhadap
peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan haknya yang
meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru Perolehan hak tersebut meliputi:
a. Pemindahan hak
1. Jual beli,
2. Tukar menukar,
3. Hibah yaitu penetapan wasiat yang
khusus mengenai pemberian hak atas tanah atau bangunan kepada orang pribadi
atau badan hukum tertentu,
4. Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan
wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada
orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setalah pemberi hibah
meninggal dunia,
5. Waris yaitu pengalihan hak yang dilakukan
terhadap tanah dan atau bangunan dalam garis keturunan lurus,
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang
pribadi atau kepada badan hukum lainnya,
7. Pemisahan yang menyebabkan peralihan,
yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama,
8. Pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu peralihan hak dari orang pribadi atau
badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan
hakim tersebut,
9. Penunjukkan pembeli dalam lelang,
yaitu penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum
dalam risalah lelang,
10. Penggabungan usaha, yaitu penggabungan
dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang
menggabung,
1. Peleburan usaha, yaitu penggabungan
dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan
melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut,
2. Pemekaran usaha, yaitu pemisahan
suatu usaha menjadi dua usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha
baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut
yang dilakukan tanpa likuidasi badan usaha yang lama,
3. Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum
berupa penyerahan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi
atau badan hukum kepada penerima hadiah.
b. Pemberian hak baru.
1. Kelanjutan pelepasan hak, yaitu
pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara
atas tanah yang berasal dari pelepasan hak,
2. Diluar pelepasan hak, yaitu
pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara
atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undang yang berlaku.
C. Jenis-Jenis Hak atas Tanah
Diatur dalam UU Pokok Agraria (UU
No. 5 / 1960):
1. Hak milik, yaitu hak turun temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan hukum tertentu
yang ditetapkan oleh pemerintah,
2. Hak guna usaha , yaitu hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu
sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku,
3. Hak guna bangunan, adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan
jangka waktu yang ditetapkan dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
peraturan dasar pokok-pokok agraria,
4. Hak pakai adalah hak untuk
menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain sesuai dengan perjanjian, yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diatur dalam UU
Rumah Susun (UU No. 16 / 1985),
5. Hak milik atas satuan rumah susun
adalah hak milik atas satuan yang bersifat bagian bersama benda bersama, tanah
bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan satuan yang bersangkutan. Diatur dalam PP No. 8 Tahun 1953.
6. Hak pengelolaan yaitu hak menguasai
dari negara yang kewenangan pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegang
haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah,
penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian dari
tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
D. Objek yang Tidak Dikenakan BPHTB,
Yang bukan merupakan objek yang
dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh :
1. Perwakilan diplomatik, konsulat
berdasarkan asas perlakuan timbal balik,
2. Negara untuk penyelenggaraan
pemerintah dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum,
3. Badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
4. Orang pribadi atau badan karena
konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama,
5. Karena wakaf atau warisan,
6. Untuk digunakan kepentingan ibadah.
E. Dasar Pengenaan BPHTB
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP).
Jika NPOP sebagaimana dimaksud pada
angka 1 sampai dengan 9 tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang
digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan maka DPP yang
dipakai adalah NJOP.
F. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NPOPTKP)
Selanjutnya
didalam pasal 7 UU BPHTB, pemerintah menentukan suatu batas nilai perolehan
tidak kena pajak yang disebut Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP). Ketentuan pasal 7 ini dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah dan yang terakhir adalah Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000
tanggal 1 Desember 2000 yang kemudian ditindaklanjuti lagi dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000. Keputusan
Menteri Keuangan ini kemudian mengalami perubahan dan yang terakhir diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 tanggal 22 Februari 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000
Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
BPHTB. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 ini berisikan ketentuan
sebagai berikut:
1. untuk perolehan hak karena waris ,
atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan
paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah),
2. untuk perolehan hak Rumah Sederhana
Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat
Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan
Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR bersubsidi, dan Rumah Susun
Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat
Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan
Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Rumah Susun Bersubsidi,
ditetapkaan sebesar Rp.49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah),
3. untuk perolehan hak baru melalui
program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka
Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi
Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah),
4. untuk perolehan hak selain perolehan
hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling
banyak Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah),
5. dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana
dimaksud pada huruf b ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan
pada huruf d,
6. dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana
dimaksud pada huruf c ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan
pada huruf d. Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional, maksudnya adalah
NPOPTKP tersebut ditetapkan per daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) dengan
mempertimbangkan usulan dari Kepala Daerah yang bersangkutan.
Sedangkan
menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD pasal 85 ayat (4), (5) dan (6)
besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 60.000.000,00 untuk
setiap wajib pajak. Kemudian untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat
NPOPTKP ditetapkan paling rendah Rp. 300.000.000,00. NPOPTKP menurut UU PDRD
tersebut akan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
G. Tarif BPHTB
Tarif
BPHTB menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20
tahun 2000 Pasal 5 adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena
Pajak (NPOPKP). Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 88
disebutkan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
H. Cara Penghitungan BPHTB
Perhitungan
BPHTB berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20
tahun 2000 Pasal 8 adalah sebagai berikut:
Sedangkan perhitungan BPHTB menurut
UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 89 adalah sebagai berikut:
I. Saat terutangnya BPHTB
Menurut
ketentuan pasal 9 ayat (1) UU BPHTB No. 20 Tahun 2000 menyatakan bahwa saat
terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah sebagai
berikut :
Pajak terutang harus dilunasi pada
saat terjadinya perolehan hak, dengan kata lain saat terutang pajak BPHTB
adalah merupakan saat untuk wajib membayar pajak.
J. Tempat Terutangnya BPHTB
Tempat
pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi
letak tanah dan atau bangunan.
K. Pembayaran BPHTB
Pajak
yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan
Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau Tempat Pembayaran
lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat Setoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (SSB).
L. Ketetapan BPHTB
Direktorat
Jenderal Pajak (menurut UU No. 20 Tahun 2000) atau Kepala Daerah (menurut UU
No. 28 Tahun 2009) dalam jangka waktu 5 tahun sesudah terutangnya BPHTB setelah
terlebih dahulu melakukan pemeriksaan lapangan ataupun kantor dan dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Bea (SKB) atau Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD):
1. Lebih bayar (LB), apabila pajak yang
dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau dilakukan
pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang,
2. Nihil (N), apabila jumlah pajak yang
dibayar sama dengan jumlah pajak terutang,
3. Kurang bayar (KB) apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah pajak
yang terutang tidak atau kurang bayar.
4. Kurang bayar tambahan (KBT) apabila
ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap (novum) yang
menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang kecuali WP melapor sebelum
pemeriksaan.
Terhadap
jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SKBKB tersebut dikenakan sanksi
administrasi sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat
dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan (sehingga maksimal 48%)
terhitung sejak tanggal terutangnya pajak. Sedangkan terhadap kekurangan pajak
yang terutang dalam SKBKBT dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan
sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut, namun demikian jika WP
melaporkan sendiri sebelum dilakukan pemeriksaan maka kenaikan tersebut tidak
dikenakan. Jangka waktu pelunasan SKB tersebut adalah 1 bulan sejak tanggal
diterbitkannya surat ketetapan.
M. Surat Tagihan BPHTB (STB)
Menurut
UU No. 20 Tahun 2000 Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan STB apabila;
1. Pajak yang terutang tidak atau
kurang bayar,
2. Dari hasil pemeriksaan kantor surat
setoran BPHTB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan atau salah hitung,
3. Wajib pajak dikenakan sanksi berupa
denda dan atau bunga,
4. Sanksi administrasi dikenakan bunga
sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan sejak terutangnya
pajak.
Sanksi
administrasi berupa bunga 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan
dapat dikenakan apabila hasil pemeriksaan menyatakan kurang bayar, sanksi ini
dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB).
N. Hak WP untuk Keberatan BPHTB
Dalam
jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya SKP yang dapat dibuktikan dengan cap
pos, Wajib pajak dapat mengajukan keberatan terhadap:
1. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah & Bangunan Kurang Bayar (SKBKB),
2. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah & Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT),
3. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah & Bangunan Lebih Bayar (SKBLB),
4. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah & Bangunan Nihil (SKBN).
Syarat pengajuan keberatan:
1. Diajukan secara tertulis dalam bahas
Indonesia,
2. Mengemukakan jumlah pajak yang
terutang menurut perhitungan wajib pajak dengan disertai alasan yang jelas
dengan mengemukakan data atau bukti bahwa jumlah pajak yang terutang atau pajak
lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar,
Keberatan
yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga
tidak dipertimbangkan. DJP harus memberi keputusan atas keberatan apakah
diterima, ditolak atau bahkan menambah besarnya pajak terutang dalam jangka
waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat ketetapan diterima.
O. Hak WP untuk Banding BPHTB
Apabila
permohonan keberatan ditolak, WP masih dapat mengajukan upaya Banding ke
Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya SK Keberatan yang
dapat dibuktikan dengan cap pos. Pengadilan Pajak harus memberi keputusan atas banding
apakah diterima, ditolak atau bahkan menambah besarnya pajak terutang dalam
jangka waktu paling lama 12 bulan.
Apabila
pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, maka kelebihan pembayaran pajak akan dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu
paling lama 24 bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding tersebut.
P. Hak WP untuk Pengurangan
Selain
hak WP untuk mengajukan keberatan terhadap SKP, WP juga dapat mengajukan
pengurangan dalam hal:
1. Kondisi tertentu wajib pajak yang
ada hubungannya dengan wajib pajak, yaitu:
2. Wajib pajak orang pribadi yang
mempunyai hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan dan tidak
mempunyai kemampuan secara ekonomis,
3. Wajib pajak badan yang memperoleh
hak baru selain hak pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan
secara fisik lebih dari 20 tahun yang dibuktikan dengan pernyataan wajib pajak
dan keterangan dari pejabat pemerintah daerah setempat,
4. Wajib pajak orang pribadi yang
menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah,
5. Wajib pajak orang pribadi yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan RS dan RSS yang diperoleh lansung
dari pengembang.
6. Kondisi wajib pajak yang ada
hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, yaitu:
7. Wajib pajak yang memperoleh hak atas
tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti rugi
dibawah nilai jual objek pajak,
8. Wajib pajak yang memperoleh hak atas
tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk
kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus,
9. Wajib pajak yang terkena dampak
krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian
nasional sehingga wajib pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau
utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah,
10. Wajib pajak bank mandiri yang
memperoleh hak atas tanah yang berasal dari bank bumi daya, bank dagang negara,
bank pembangunan Indonesia, bank ekspor impor dalam rangkaian proses
penggabungan usaha,
11. Wajib pajak penggabungan usaha atau
peleburan usaha dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan
telah memperoleh persetujuan nilai buku dalam rangka penggabungan usaha dari
DJP,
12. Wajib pajak yang memperoleh hak atas
tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana
alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran banjir dan tanah longsor paling
lama 3 bulan setelah penandatanganan akta,
13. Wajib pajak orang pribadi veteran,
TNI dan pensiunan , janda/dudanya yang memperoleh hak atas tanah dan atau
bangunan rumah dinas pemerintah,
14. Tanah atau bangunan digunakan untuk
kepentingan sosial dan pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari
keuntungan mislanya tanah dan atau bangunan yang digunakan antara lain untuk
panti asuhan.
Pengurangan
akan diproses dalam waktu paling lama 3 bulan (apabila proses dilakukan di KPP
Pratama) dan 6 bulan (apabila proses dilakukan di Kantor Pusat Dirjen Pajak)
sejak tanggal diterima permohonan pengurangan BPHTB. Bagi WP yang memenuhi
syarat dapat menghitung sendiri besarnya pengurangan sebelum melakukan
pembayaran BPHTB. Contohnya untuk kasus waris dan hibah wasiat, dimana
pembayaran menggunakan SSB setelah dikurangi dengan pengurangan dilakukan
terlebih dahulu baru pengajukan permohonan pengurangan ke KPP Pratama.
Dalam
Surat Setoran Bea diberi tanda “pengurangan dihitung sendiri” dan jumlah
setoran BPHTB setelah pengurangan. Dalam hal ini WP tetap mengajukan permohonan
pengurangan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Bila permohonan
pengurangannya ditolak/dikabulkan namun dalam pembayaran BPHTB-nya masih kurang
bayar maka terhadap WP tersebut akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2% per
bulan dari kekurangan bayar tersebut, maksimum 24 bulan. Terhadap BPHTB kurang
bayar (SKBKB) tidak dapat diajukan pengurangan kembali.
Q. Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Wajib
pajak dapat mengajukan usul permohonan pengembalian atas kelebihan
pembayaran pajak kepada DJP, antara lain berupa:
1. Pajak yang dibayar lebih besar
daripada seharusnya terutang,
2. Pajak yang dterutang yang dibayarkan
oleh wajib pajak sebelum akta ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah
atau bangunan tersebut batal.
Berdasarkan
kondisi di atas maka pengembalian kelebihan pembayaran dapat diberikan karena:
1. Pengajuan permohonan pengurangan
yang dikabulkan baik sebagian ataupun seluruhnya,
2. Pengajuan keberatan atau banding
yang dikabulkan baik sebagian atau seluruhnya, maka jumlah pengembalian akan
ditambahkan bunga 2%/bln maksimal 24 bulan,
3. Pajak yang dibayar lebih besar dari
yang seharusnya terutang atau sudah terlanjur bayar tetapi proses perolehan
haknya dibatalkan, maka terlebih dahulu akan dilakukan dilakukan proses
pemeriksaan (Pasal 22) jumlah pengembalian akan ditambahkan bunga 2%/bln
maksimal 24 bulan apabila pengembalian telah lewat 2 bulan,
4. Perubahan peraturan
perundang-udangan.
Pengajuan
permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak tersebut diajukan oleh
WP ke DirJen Pajak. Kemudian DirJen Pajak dalam jangka waktu paling lama 12
bulan sejak diterimanya permohonan harus memberikan keputusan. Terhadap
pengembalian pajak tersebut WP dapat melakukan restitusi atau kompensasi.
R. Kewajiban Ber NPWP dalam proses
BPHTB
Sebagai
upaya untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam kewajiban perpajakan maka
salah satu upaya yang dilakukan oleh DJP adalah melalui transaksi jual beli
properti. Untuk itu DJP perlu memonitor setiap pemenuhan kewajiban perpajakan
WP yang akan dipantau melalui mekanisme pencantuman NPWP. Dasar hukum proses
ini adalah Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-35/PJ/2008 tanggal 9 September 2008
tentang Kewajiban Pemilikan NPWP Dalam Rangka Pengalihan Hak Atas
Tanah/Bangunan.
Dalam hal ini berarti bahwa baik
penjual maupun pembeli wajib memiliki NPWP kecuali:
·
Bagi pembeli, tidak wajib mencantumkan NPWP jika NJOP atau
NPOP di bawah Rp60.000.000,-
·
Bagi penjual, tidak wajib mencantumkan NPWP jika PPh Final
terutangnya di bawah Rp3.000.000,-.
1. BPHTB adalah pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Prinsip dasar BPHTB
adalah Self assessment, yaitu Wajib Pajak menghitung dan menyetorkan
pajak terutang dan melaporkannya ke KPP Pratama,
2. Subjek BPHTB adalah orang pribadi
atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan,
3. Objek BPHTB adalah perolehan hak
atas tanah atau bangunan yaitu terhadap peristiwa hukum atau perbuatan hukum
atas transaksi/peralihan haknya yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak
baru,
4. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP),
5. Batas nilai perolehan tidak kena
pajak disebut Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP),
6. Tarif BPHTB menurut Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2000 adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena
Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD
ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
7. Perbandingan penerapan BPHTB antara
UU No.20 Tahun 2000 dengan UU No. 28 Tahun 2009:
1.
PAJAK HOTEL
2.1.Dasar Hukum
Undang undang nomor 28 tahun 2009
yang merupakan perubahan atas undang undang nomor 34 tahun 2000 tentang pajak
daerah dan retribusi daerah.
Peraturan pemerintah nomer 91 tahun
2010 tentang jenis pajak daerah yang dipungut berdasarkan penetapan kepala
daerah atau dibayar sendiri oleh wajib pajak.
2.2.Pengertian Pajak Hotel
Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan
hotel. Dalam pemungutan pajak hotel terdapat beberapa terminologi, sebagai
berikut:
Hotel adalah fasilitas jasa
penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut
bayaran, yang mencakup motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata,
pasanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah
kamar lebih dari 10 (sepuluh). Pengusaha hotel adalah orang pribadi atau badan
dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya
melakukan usaha di bidang fasilitas jasa penginapan.
Bon penjualan (Bill) adalah bukti
pembayaran yang sekaligus sebagai bukti pungutan pajak, yang dibuat oleh wajib
pajak pada saat mengajukan pembayaran atau jasa pemakaian kamar atau tempat
penginapan beserta fasilitas penunjang lainnya kepada subjek pajak/tamu hotel.
Setiap pengusaha hotel harus
menggunakan bon penjualan atau nota pesan (Bill), termasuk penggunaan mesin
cash register sebagai bukti pembayaran. Bon penjualan baru dapat digunakan
setelah dilegalisasi (berupa perporasi atau stempel pemerintah) oleh Kepala
Dinas Pendapatan Daerah atas nama Bupati setempat. Dalam bon penjualan
sekurang-kurangnya harus mencantumkan nama dan alamat usaha, dicetak dengan
nomor sen, dan digunakan sesuai dengan nomor urut.
2.3. Objek Pajak
Objek pajak hotel adalah pelayanan
yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, Objek pajak yang dimaksud
meliputi:
2.3.1. Fasilitas penginapan atau
fasilitas tinggal jangka pendek. Antara lain gubuk pariwisata (cottege), villa yang
disewakan, motel, wisma pariwisata, pesanggrahan (hostel). Losmen dan rumah
penginapan, termasuk rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
2.3.2. Jasa penunjang antara lain tempat menyantap makanan
dan atau minuman, telepon, faximail, fotocopy, pelayanan cuci, setrika, dan
transportasi, yang disediakan atau dikelola hotel.
2.3.3. Fasilitas olah raga dan
hiburan antara
lain pusat kebugaran, kolam renang, tenis, golf, karaoke, diskotik yang
disediakan atau dikelola hotel. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara
atau pertemuan di hotel.
Yang tidak termasuk obyek pajak hotel, adalah:
2.2.1.
Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah
daerah.
2.2.2.
Jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya.
2.2.3.
Jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau keagamaan.
2.3.4.
Jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan
dan panti sosial lainnya yang sejenis.
2.3.5.
Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel
yang dapat dimanfaatkan oleh umum
2.4. Subjek pajak dan wajib pajak
Subjek pajak hotel adalah orang pribadi
atau badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang
mengusahakan hotel. Dalam hal ini, subjek pajak adalah konsumen yang menikmati
dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha hotel.
Wajib pajak hotel adalah orang
pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.
2.4.1. Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan pajak hotel adalah
jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada hotel.
2.4.2. Tarif Pajak
Tarif pajak hotel ditetapkan sebesar
10% (sepuluh persen). Besaran pokok pajak hotel yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif pajak hotel dengan dasar pengenaan pajak
2.5. Sistem Pemungutan Dan Pembayaran Pajak
Pemungutan pajak hotel menggunakan
system self assesment yaitu sistem pengenaan pajak yang memberi kepercayaan
kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang dengan jumlah besaran disesuaikan dengan omzet
bulanan yang terjual.
Wajib pajak diwajibkan melaporkan pajak
yanng terutang dengan menggunakan surat pemberitahuan pajak daerah (SPTPD),
dengan melampirkan bon nota/tanda pembayaran yang telah di
perporasi/legalisasi. Apabila wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya
setelah dilakukan pemeriksaan, kepadanya dapat diterbitkan surat ketetapan
pajak daerah kurang bayar (skpdkb) dan atau surat ketetapan pajak daerah kurang
bayar tambahan (skpdkbt) yang menjadi sarana penagihan pajak.
2.5.1. Kelengkapan yang harus dipersiapkan antara lain
2.5.1.1.
Wajib pajak harus mengisi surat pemberitahuan pajak daerah ( SPTPD ) dan
menandatangani oleh Wajib Pajak atau yang diberi kuasa.
2.5.1.2.
Menyiapkan Bon nota/tanda pembayaran untuk di perporasi/legalisasi oleh Dinas.
Bilamana tidak, maka Dinas menyiapkan bon nota dengan permohonan Wajib Pajak.
2.5.1.3.
Menyiapkan laporan keuangan untuk pemeriksaan rutin maupun berkala dari Dinas
dengan melaporkan jumlah bon nota/tanda pembayaran yang sah yang telah terjual
untuk ditetapkan besaran pajaknya. Bilamana pihak pengelola tidak memenuhi
kewajiban perpajakannya, maka terhadap WP dikenakan sanksi administratif berupa
SKPDKB sesuai hasil pemeriksaan.
2.5.2. Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Dan Cara Perhitungan
Pajak Terutang
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Hotel
adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada hotel. Yakni
segala pengeluaran yang se-nyatanya telah dibayarkan atas jasa yang telah dinikmati
pada hotel tersebut.
Contoh kasus :
Seseorang menginap di Hotel “ABC”
dengan harga/tarif kamar Rp.200.000,00. Sebelum diskon. Pada saat keluar ( check out time ) yang
bersangkutan melakukan pembayaran atas:
Jasa Sewa Kamar
Diskon 50%
|
Rp. 200.000,-
Rp. 100.000,-
|
Rp. 100.000,-
|
|
Jasa Binatu (Laundry)
Jasa Makanan (Restoran)
Jasa Karaoke (Hiburan)
Jasa Telepon
|
Rp. 100.000,-
Rp. 50.000,-
Rp. 100.000,-
Rp. 150.000,-
|
Rp. 400.000,-
|
Perhitungan Pajak Hotel adalah
sebagai berikut :
Pajak Terutang = Tarif Pajak x
Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran yang dilakukan kepada hotel
= 10%xRp.600.000,-
= Rp 60.000,- ( Enam Puluh Ribu Rupiah)
Dengan kata lain bahwa dalam hal ini
perhitungan Pajak Restoran diskon dinyatakan bukan komponen pengurang besarnya
pajak terhutang.
BAB
III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas
tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya.
Pajak
hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. Hotel adalah fasilitas jasa
penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut
bayaran, yang mencakup motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata,
pasanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah
kamar lebih dari 10 (sepuluh). Setiap pengusaha hotel harus menggunakan bon
penjualan atau nota pesan (Bill), termasuk penggunaan mesin cash register
sebagai bukti pembayaran.
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment