Ini Untuk Makalahnya
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
MAKALAH
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata
Kuliah: Pendidikan Agama Islam
Dosen: Mustaqim Pabajah,Dr.
Sumber Pembuat
Oleh:
Siti Humairoh
|
513 0211 241
|
Novia Agustina Mara
|
513 0211
|
Nia Nuur Fitriana.T
|
513 0211 260
|
Abu rizal bahri
|
513 0211 267
|
KELAS D
Prodi Manajemen S1
UNIVERSITAS
TEKNOLOGI YOGYAKARTA
2013
I.PENDAHULUAN
Kita telah
mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an
dan Hadits.Yang mana telah kita ketahui bersama didalam keduanya terdapat
hukum-hukum yang relevan dalam kehidupan kita bermasyarakat, beragama dan
menjalani kehidupan kita sebagai khalifah di muka bumi ini.Sejarah yang
terkandung dalam keduanya memberi kita contoh dalam bermasyarakat untuk
meneladaninya, dalam segi beragama kita dituntut untuk bisa mengungkap isinya
agar ibadah kita di dunia ini tidak sia-sia dan hanya berupa formalitas
semata.Sedangkan dalam mengerjakan tugas hidup kita sebagi khalifah, Al-Quran
dan as-Sunnah punya ilmu yang sangat melimpah dari ilustrasi dasar lampu, dan
banyak lagi.
Semua muslimin
sepakat bahwa sumber hukum pertama yang tertinggi adalah wahyu Allah yang
diturunkan kepada Rasul-Nya, yang disebut Al-Quran.Sumber hukum peringkat
selanjutnya adalah kejelasan yang tersurat maupun yang tersirat dari kehidupan
Rasul Allah, disebut as-Sunnah.
Kedua dasar
dan sumber hukum ini saling kait dan terikat.Apa yang ada di dalam Al-Quran
adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya. Darinya tersurat
dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran hukum yang lain. Sementara landasan
selain Al-Quran adalah semua yang sudah mencukupi ruang batas ketentuan yang
dibenarkan Al-Quran, sehingga tidak ada ketentuan yang berada di luar ketentuan
yang sudah ditetapkan Allah.Dengan landasan ini, muslimin sependapat bahwa
barang siapa yang menentang dan mengubah ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka
dinyatakan sebagai kufur.
Tanpa
disadari, keterikatan muslimin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan
kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran, menjadikan setiap muslim berjanji
untuk mengikuti Al- Quran dan Hadits/Sunnah. Mereka mencoba mengekspresikan
semua yang ada dari keduanya dalam kehidupan keseharian. Tapi, ada hal yang
tidak dapat ditolak, yakni adanya perubahan persepsi di kalangan muslim dalam
memahami keduanya. Dari dasar sumber yang sama, ternyata, muslimin memahami
dengan berbeda. Dari sumber yang sama (Al-Quran dan Hadits), dipahami secara
berbeda, sehingga beramal pun dengan praktik yang berbeda. Karena, memang bukan
mustahil bahwa dari ungkapan yang sama tetapi muatannya berbeda.
Awal perbedaan
ini, nampak jelas ketika Rasulullah SAW wafat.Al-Quran, dalam artian wahyu atau
kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu
terhenti.Sebagian muslimin berpandangan bahwa periode dasar hukum telah
terhenti, sehingga mereka berpandangan hanya Al-Quran dan Sunnah Nabi saja
sebagai sumber hukum yang mutlak.
Sebagian
muslimin yang lain memiliki pandangan dan keyakinan berbeda. Wafat Nabi
Muhammad SAW tidak berarti terhentinya nash Ilahi dalam bentuk Sunnah. Karena,
Sunnah dalam pemahaman kelompok ini tidak terbatas pada Nabi Muhammad SAW,
tetapi juga ada pada tiga belas orang maksum setelah beliau. Yaitu, dimulai dari
Ali bin Abi Thalib AS sampai dengan Muhammad bin Hasan al-Mahdi AS (termasuk
Fatimah az-Zahra AS), hingga akhir zaman. Kedua pandangan inilah yang menjadi
pemilah kesatuan muslimin yang telah dibina Rasulullah SAW. Hinggalah sekarang,
pengaruh dan bara tersebut masih saja menyala.
Akibat lain yang ditimbulkan dari
perbedaan pandangan itu adalah telah terbentuknya ideologi yang menjadi dasar
cara pandang muslim dalam melihat Islam. Dengan dasar perspektif pandangan
masing-masing, Islam akan tampak berbeda, dan motif pada tindakan pun menjadi
berbeda pula. Perbedaan inilah yang mendasari lemahnya kekuatan muslimin dalam
menghadapi tantangan zaman, baik dari nilai ideologi maupun tantangan fisik.
Permasalahan di atas, juga menjadi faktor yang
melahirkan generasi muslim zaman ini. Generasi kini adalah hasil dari generasi
terdahulu, karena unsur sejarah mendominasi pandangan muslim dalam menilai
Islam. Dengan kenyataan yang terjadi, dan pandangan yang tercipta dari waktu ke
waktu, serta informasi yang diterima untuk dipelajari hari ini, telah membentuk
opini keislaman seseorang.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa dengan cara
memandang pada fenomena sejarah yang berbeda akan didapatkan nilai keislaman
yang berbeda pula. Sehingga i'tiqad dasar keislaman pun akan berbeda. Sementara
itu, semua muslim sepakat bahwa Islam adalah agama Ilahi yang satu dan
merupakan hamparan jalan tunggal menuju kepada Allah. Karena itu, muslimin, mau
tak mau, harus memilih juga, yang konsekuensinya adalah i'tiqad dasar dari pandangan
di atas harus ditimbang kembali untuk mendapatkan nilai yang benar, sehingga
seseorang dapat memastikan keberadaan setiap personal di jalan yang lurus dan
tunggal tersebut.
Namun seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan
yang ditemui umat islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahan
tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist
secara eksplisit, timbul istilah ijtihad.
II.PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN IJTIHAD
Dalam
sejarah pemikiran Islam, ijtihad telah banyak digunakan. Hakikat ajaran
Al-Qur’an dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad. Dari ayat
Al-Qur’an yang jumlahnya ± 6300, hanya ±500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang
berhubungan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Ayat-ayat tersebut pada
umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai
maksud, rincian, cara pelaksanaannya dsb. Untuk itu, ayat-ayat tersebut perlu
dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui Al-Qur’an dan hadis, yaitu pada
mulanya Sahabat Nabi dan kemudian para ulama. Penjelasan oleh para Sahabat Nabi
dan para ulama itu diberikan melalui ijtihad.
Kata
ijtihad menurut bahasa berarti ‘daya upaya” atau “usaha keras”. Dengan demikian
ijtihad berarti “berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu”. Dalam
istilah fikih, ijtihad berarti “berusaha keras untuk mengetahui hukum sesuatu
melalui dalil-dalil agama : Al-Qur’an dan hadis” (Badzl al-wus’i fi nail hukm
syar’i bi dalil syar’i min al-kitab wa al-sunnah). Ijtihad dalam istilah fikih
inilah yang banyak dikenal dan digunakan di Indonesia.
Dalam
arti luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang lain agama.
Misalnya Ibn Taimiyah yang menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam
bidang tasawuf dan lain-lain, mengatakan:”Sebenarnya mereka (kaum sufi) adalah
mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan,sebagaimana mujtahid-mujtahid lain.
Dan
pada hakikatnya mereka (kaum sufi di Bashrah) dalam masalah ibadah dan ahwal
(hal ihwal) ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka
di Kufah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata negara, dan
lain-lain.
1. Menurut Ahmad bin Ali al-Mugri
al-Fayumi menjelaskan bahwa Itihad secara bahasa adalah : “Pengerahan
kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian suatu upaya
sampai kepada ujungyang ditujunya”.
2. Menurut al-Syaukani, arti ethimologi
Ijtihad adalah : “Pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa
saja.“
3. Menurut al-Qur’an, arti Ijtihad dalam
artian jahada terdapat di dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 38, surat al-Nur
ayat 53 dan surat Fathir ayat 42. Semua kata itu berarti pengerahan segala
kemampuan dam kekuatan (badzl al-wus’I wa al-thaqoh), atau juga berarti
berlebihan dalam besumpah (al-mubalaghat fi al-yamin).
4. Menurut al-Sunnah, kata Ijtihad
terdapat sabda nabi yang artinya “pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah
(yajtahid) pada sepuluh hari terakhir (bulan ramadhan).
5. Menurut para ulama pengertian Ijtihad
secara bahasa mempunyai pendapat yang sama tetapi istilah yang meliputi hubungan
Ijtihad dengan fiqih, Ijtihad dengan al-Qur’an, Ijtihad dengan al-Sunnah, dan
Ijtihad dengan dalalah nash.
6. Menurut Abu Zahirah, secara istilah,
arti Ijtihad adalah “Upaya seorang ahli fiqih dengan kemampuannya dalam
mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
7. Menurut al-Amidi Ijtihad adalah
“Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang Zhanni dari
hukum-hukum syara.
8. Menurut Ibrahim Hosen bahwa cakupan
Ijtihad hanyalah bidang fiqih, dan pendapat yang menyatakan bahwa Ijtihad
secara istilah juga berlaku dibidang akidah atau akhlak, jelas tidak bisa
dibenarkan.
9. Menurut Harun Nasution, pengertian
Ijtihad hanya dalam lapangan fiqih adalah Ijtihad dalam pengertian sempit.
Dalam arti luas, menurutnya, Ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah,
tasawuf, dan filsafat.
10. Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad
adalah qiyas untuk mengeluarkan ( istinbat ) hukum dari kaidah-kaidah syara’
yang umum.
11.
Hasby
Ash-Sidiqy mengemukakan bahwa ijtihad adalah :”menggunakan segala kemampuan
untuk mencari suatu hukum dengan hukum Syara’ dengan jalan zhan.
Orang yang berijtihad
disebut Mujtahid, sedangkan jika kita tidak berijtihad atau tidak mencari
orang yang mampu berijtihad maka kita termasuk orang yang taqlid. Taqlid
berarti “Mengambil suatu pendapat tanpa mengetahui dalil (landasannya)”
2. PERKEMBANGAN IJTIHAD
1.
Bidang Politik
Untuk
pertama kalinya ijtihad dilakukan terhadap yang pertama timbul dalam Islam :
siapa pengganti nabi Muhammad sebagai khalifah atau kepala negara setelah
beliau wafat? Kaum Anshar berijtihad bahwa pengganti beliau haruslah salah
seorang dari mereka, dengan alasan merekalah yang menolong beliau ketika
dikejar-kejar Kaum Quraisy Makkah. Sedangkan menurut ijtihad Abu Bakar, yang
berhak menjadi khalifah pengganti Nabi adalah orang Quraisy, dengan alasan Nabi
Muhammad bersabda “para pemuka/ al-aimmah adalah dari golongan Quraisy”. Selama
lebih 900 tahun ijtihad Abu Bakarlah yang dipegang oleh ummat Islam, yang
dikenal dengan ‘Sunni’. Adapun menurut ijtihad Ali, yang berhak menjadi
khalifah pengganti Nabi ialah keluarga Nabi Muhammad. Ijtihad ini di kemudian
hari melahirkan madzhab Syi’ah. Di dalam madzhab ini terdapat perbedaan
pendapat, sehingga melahirkan Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah, dan Syi’ah 12.
Dan kaum khawarij tidak menyetujui hasil ijtihad kaum Anshar, kaum Sunni, dan
kaum Syi’ah. Mereka (kaum khawarij) berijtihad bahwa muslim manapun, asal
memenuhi syarat-syarat yang diperlukan, dapat menjadi khalifah dan tidak ada
ketentuan bahwa ia harus orang Arab, Quraisy, ataupun keturunan Nabi.
Tidak lama setelah
menjadi khalifah, Abu Bakar menghadapi satu masalah; sebagian orang Islam tidak
mau membayarkan zakatnya setelah Nabi Muhammad wafat. Ia menyelesaikan masalah
itu melalui ijtihad. Begitu pula Umar ibn al-Khattab. Melalui ijtihad ia
menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh meluasnya daerah yang
dikuasai oleh tentara Islam. Berlainan dengan ketentuan dan Al-Qur’an dan sunah
Nabi Muhammad, Umar tidak membagi-bagikan tanah itu kepada tentara yang
menaklukkannya.
2.
Bidang Akidah
Pada
zaman Ali ibn Abi Thalib timbul satu masalah: bagaimana kedudukan orang yang
berbuat dosa besar, apakah masih mukmin atau sudah kafir? Kaum Khawarij
berijtihad bahwa orang yang berbuat dosa besar itu keluar dari Islam, dan
karena itu ia adalah kafir. Kaum Murji’ah berijtihad bahwa ia masih mukmin.
Sedangkan menurut Kaum Mu’tazilah, ia tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi
muslim.
Dalam
bidang akidah ini selanjutnya timbul masalah: apakah perbuatan manusia itu ciptaan
Tuhan atau ciptaan manusia itu sendiri? Mengenai masalah ini, ijtihad kaum
Muktazilah dan Maturidiah Samarkand sama: Perbuatan manusia terjadi terjadi
berkat kehendak dan daya yang diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia. Hal ini
bertentangan dengan ijtihad Asy’ari dan Bazdawi dari Maturidian Bukhara
:perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Menurut Asy’ari, manusia hanya
memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan/ al-kasb. Sedang menurut
al-Bazdawi, manusia hanya melakukan perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan, dan
untuk ini ia menggunakan istilah maf’ul Tuhan dan fi’il manusia.
Mengenai
sifat-sifat Tuhan dalam ajaran Al-Qur’an yang menggambarkan bentuk jasmani,
Asy’ari berijtihad bahwa ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Tuhan itu
harus diartikan secara harfiah; kursi Tuhan harus diartika kursi pula, tetapi
tidak sama dengan kursi manusia. Sedang menurut ijtihad kaum Muktazilah
ayat-ayat tersebut harus diambil arti tersiratnya, bukan arti tersuratnya.
Dengan demikian, kursi Tuhan berarti kekuasaan Tuhan.
Hasil ijtihad yang berbeda-beda dalam
bidang akidah ini melahirkan 5 mazhab ilmu kalam : Khawarij, Murji’ah,
Muktazilah, Asy’ariyah, dan Maturudiah. Dan ajaran masing-masing mazhab ini
mengikat pengikut masing-masing.
3. Bidang Filsafat
Setelah
terjadi kontak dengan filsafat Yunani, para ulama Islam mempelajari
pemikiran-pemikiran para filosof Barat. Karena Al-Qur’an tidak merinci tentang
penciptaan alam timbullah ijtihad di kalangan para filosof Islam tentang
penciptaan alam. Menurut al-farabi dan Ibn Sina, Tuhan menciptakan alam ini
dari sesuatu yang telah ada, bukan dari ketidakadaan, melalui pancaran
(al-faid) dari Tuhan. Unsur ini (pancaran) bersifat qadim karena ia diciptakan
oleh Tuhan sejak qidam. Dengan demikian, alam menurut ijtihad mereka adalah
qadim ditinjau dari segi unsurnya. Menciptakan sesuatu dari ketidakadaan
menurut filsafat adalah mustahil. Sedangkan menurut ijtihad al-Ghazali, Tuhan
itu Maha Kuasa dan dapat saja menciptakan alam ini dari ketiadaan, dan memang
alam ini diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaan, dan bukan melalui pancaran.
Selanjutnya al-Ghazali mengatakan bahwa karena unsur itu tidak qadim, maka alam
pun bukan qadim, tetapi hadis (baru). Adapun Ibn Rusyd memperkuat ijtihad
golongan al-Farabi dengan mengutip dua ayat Al-Qur’an, sebagai berikut:
“Dan
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah
singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara
kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya
kamu akan dibangkitkan
sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini
tidak lain hanyalah sihir yang nyata". (Hud, 11:7).
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan
langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan
kepada bumi: ”Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau
terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati” (Hamim, 41:11)
Ibn
Rusyd berijtihad, kedua ayat itu menjelaskan bahwa sebelum bumi dan langit
diciptakan oleh Tuhan, air dan uap itu telah ada. Dari kedua unsur inilah Tuhan
menciptakan alam. Kedua ayat di atas tidak mendukung pendapat al-Ghazali yang
menyatakan bahwa alam diciptakan dari ketidakadaan, dalam arti bahwa sebelum
bumi dan langit diciptakan tak ada sesuatupun selain Tuhan.
3. HUKUM IJTIHAD
Nabi Muhammad
SAW.memberikan izin kepada orang yang hendak melakukan ijtihad, bahkan Nabi
memberikan dorongan kepada mereka.alau ijtihad itu dilakukan tepat mengenai
sasaran maka orang yang berijtihad mendapat dua pahala, apabila tidak dia
mendapat satu pahala. Nabi Saw. Bersabda: ”Hakim apabila berijtihad kemudian
dapat mencari kebenaran, maka ia mendapat dua pahala . Apabila ia berijtihad
kemudian ia tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala ( HR.
Bukhori dan Muslim )
Berdasarkan ayat
dan hadits tersebut, maka ulama membagi hukum ijtihad dalam tiga macam sebagai
berikut :
1. Wajib ‘Ain , bagi seseorang yang ditanya tentang
satu peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya. Begitu pula apabila
peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui
hukumnya.
2. Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanya
tentang suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan akan hilang sementara mujtahid
lain selain dirinya.
3. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa
yang belum terjadi baik ditanyakan atau tidak.
Dr. Muhammad
Madkur di dalam kitabnya Manahiju al-Ijtihad Fi Al-Islam menjelaskan bahwa
ijtihad dan berijtihad hukumnya adalah wajib bagi yang telah mengetahui
keahlian dan memenuhi syarat-syarat ijtihad.
4. FUNGSI IJTIHAD
Meski
Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal
dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist.
Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan
modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan
aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari.
Jika
terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan
yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam
memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka
yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
5. KEDUDUKAN IJTIHAD
Berbeda
dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan
sebagi berikut :
1. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak
dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan
aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia
yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
2. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad,
mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku
untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
3. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan
ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan
Rasulullah.
4. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan
dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
5. Dalam proses berijtihad hendaknya
dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan
bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
6. MACAM-MACAM IJTIHAD
Secara garis besar
ijtihad dibagi kedalam dua bagian, yaitu:
1. Ijtihad fardhi adalah : ”Setiap
ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang, namun tidak ada
keterangan bahwa semua mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara (
Tasyri’ Islami: 115)
Ijtihad yang semacam inilah yang pernah
dibenarkan oleh Rasul kepada Mu’adz ketika Rasul mengutus beliau untuk menjadi
qodhi di Yaman.
2. Ijtihad Jami’i adalah : ”Semua ijtihad
dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin.” ( Ushulu Tasyri’
:116 )
Ijtihad
semacam ini yang dimaksud oleh hadits Ali bin Abi Thalib pada waktu beliau
menanyakan kepada Rasul tentang suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak
diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ketika itu Nabi
bersabda : ”Kumpulkanlah orang-orang yang berilmu dari orang-orang mukmin untuk
memecahkan masalah itu dan jadikanlah hal itu masalah yang dimusyawarahkan diantara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang
seorang.” ( H.R. Ibnu Abdil Barr )
Disamping itu, Umar bin
Khatab juga pernah berkata kepada Syuraikh : ”Dan bermusyawarahlah ( bertukar
pikiran ) dengan orang-orang yang saleh.”
6. JENIS-JENIS
IJTIHAD
1.
Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan
suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu
perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama
dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma
adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang
untuk diikuti seluruh umat.
2.
Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum
suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki
kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara
terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat,
bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa
sebelumnya.
Beberapa definisi qiyâs (analogi):
·
Menyimpulkan
hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di
antara keduanya.
·
Membuktikan
hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di
antaranya.
·
Tindakan
menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau
[Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
3.
Istihsân
Beberapa definisi Istihsân:
·
Fatwa
yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal
itu adalah benar.
·
Argumentasi
dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
·
Mengganti
argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
·
Tindakan
memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
·
Tindakan
menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada
sebelumnya.
4.
Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan
pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan
menghindari kemudharatan.
5.
Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi
kepentingan umat.
6.
Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan
yang bisa mengubahnya.
7.
Urf
Adalah tindakan menentukan masih
bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan
tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Qur’an dan Hadits.
7. SYARAT – SYARAT MUJTAHID
1. Mengetahui isi Al-Qur’an dan hadits
yang bersangkutan denagn hokum itu, meskipun tidak hapal diluar kepala.
2. Harus mengetahui bahasa arab dengan
alat-alat yang berhubungan dengan itu seperti Nahwu, Shorof, Ma’ani, Bayan,
Bad’i, agar dengan ini mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an atau As-Sunnah dengan
cara berfikir dengan benar.
3. Harus mengetahui ilmu usul fiqh dan
qoidah-qoidah fiqh yang seluas-luasnya, karena ilmu sebagai dasar berijtihad.
4. Harus mengetahui soal-soal ijma’, hingga
tiada timbul pendapat yang bertentangan dengan ijma’ itu.
5. Harus mengetahui nasikh mansukh dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
6. Mengetahui ilmu riwayat dan dapat
membedakan: mana hadits yang sahih dan hasan, mana yang dhoif, mana yang maqbul
dan mardud.
7. Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’i (
asrarusy syari’ah) yaitu qoidah-qoidah yang menerangkan tujuan syara’ dalam
meletakan beban taklif kepada mukallaf.
8. TINGKAT KEKUATAN IJTIHAD
Al-‘Allamah
Abdullah Darraz mengatakan bahwa : “Ijtihad adalah menghabiskan seluruh
kemampuan dan memeberikan segala kekuatan pikiran. Hal itu dilaksanakan untuk
memperoleh hukum syar’i dan menerapkannya yakni menetapkan hukum yang telah
ditetapkan atas tiap-tiap kaidah, seperti menetapkan kaidah segala yang tidak
dilarang syara’. Ijtihad ( memperoleh hukum ) hanya dapat dilaksanakan oleh
ulama – ulama yang mempunyai keahlian yang sempurna dalam urusan ijtihad.
Ijtihad mentatbiqkan hukum dan seluruh orang yang memiliki ilmu yang sudah
dalam tentu dapat mengerjakannya. Dan disepakati bahwa ijtihad ini tiada putus
– putusnya sepanjang zaman.”
Seorang ahli fiqh yang
menghabiskan tenaga dan pikirannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap
suatu hukum agama dengan jalan istinbat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau dari
suatu dalil yang dibenarkan syara’, dinamai mujtahid.
Jadi ijtihad itu ada dua tingkatan :
·
Ijtihad Darakil Ahkam (menghasilkan hukum yang belum ada)
·
Ijtihad Tatbiqil
Ahkam (menerapkan hukum atau kaidah atas tempat yang menerimanya)
III.PENUTUP
Kesimpulan
Maka ijtihad adalah satu-satunya
cara untuk mengungkap hukum syara’ yang dalilnya tidak. Dan ijtihad sendiri merupakan sumber
hukum yang ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah.
IV.REFERENSI (Sumber Bacaan)
No comments:
Post a Comment